assalaamu'alaikum wr. wb.
Pernah melihat liputan sebuah acara pentas sekolah di
TV? Pernah mengamati bagaimana kaum remaja menjawab pertanyaan yang
diberikan oleh para wartawan? Kira-kira beginilah :
-
"Emm, pokoknya acara asyik banget, band-band yang tampil keren banget, musiknya OK, ya pokoknya te-o-pe deh!"
-
"Gila, acaranya keren banget gitu, lho! Aduh pokoknya keren deh... Pokoknya yang nggak dateng nyesel aja!!"
-
"Wah, pokoknya gua salut lah sama panitianya. Acaranya keren abis, booo!!"
Lalu bagaimana kalau dimintai komentar, misalnya tentang seorang artis favoritnya, katakanlah Jennifer Lopez?
-
"Wah Jennifer Lopez itu top banget, gitu lho! Bodinya seksi, suaranya bagus, cantik banget, aduh pokoknya keren deh!"
-
"Iya, gua demen banget sama J-Lo. Dia tuh udah seksi, jago nyanyi, udah gitu jago nge-dance lagi! Wah, tipe gua banget, tuh!"
-
"Gua suka J-Lo.... karena apa ya? Ya karena dia keren aja, gitu!!!"
Entah bagaimana pendapat para guru di sekolah, yang
jelas saya merasa prihatin dengan kondisi kemampuan berbahasa kaum
remaja kebanyakan. Taufik Ismail sebelumnya sudah seringkali
memperingatkan semua orang tentang betapa kurangnya pengajaran bahasa
dan sastra Indonesia baik dari segi kualitas dan kuantitas. Saya
percaya sang ikon sastra Indonesia itu memang benar.
Masalahnya bisa merembet kemana-mana. Dengan
kemampuan berbahasa seperti ini, maka bisa dibayangkan bagaiman buruknya
kualitas komunikasi yang terjadi di dunia remaja. Mereka tidak bisa
menyampaikan maksudnya dengan baik. Sebenarnya tidak ada salahnya
menggunakan bahasa non-baku, asalkan maksudnya tersampaikan. Tapi dari
enam contoh kalimat di atas, berapa banyakkah informasi yang bisa kita
dapatkan?
Dengan kondisi seperti ini, wajarlah kiranya jika
para siswa sekolah jauh lebih memilih mengerjakan soal-soal pilihan
ganda daripada esai. Masalahnya jelas : mereka tidak mampu menyampaikan
maksudnya dengan baik ; dengan cukup jernih sehingga bisa dimengerti
oleh orang lain. Kalau cuma sekedar bilang "si A keren", "acara ini
bagus", "desainnya ciamik" dan sebagainya, siapa pun bisa
melakukannya. Tapi tidak ada yang mengerti maksud pembicaraannya
sebenarnya. Keren seperti apa? Mengapa ia dibilang keren? Apa yang
membuatnya merasa ia lebih keren daripada yang lain? Tidak ada secuil
pun informasi!
Gaya berbahasa berkaitan erat dengan bahan
bacaannya. Kalau yang dibaca remaja selalu masalah-masalah percintaan
yang beraliran gombalisme, maka tidak heran jika pikiran mereka pun
tidak terbiasa dengan hal-hal lain yang sebenarnya sangat penting. Jika
pikirannya hanya disibukkan oleh hal-hal semacam itu, maka jangan heran
jika mereka cenderung menghindar dari pembicaraan-pembicaraan serius
(dan tentu juga tulisan-tulisan yang serius).
Menurut saya, di sekolah-sekolah, di milis-milis,
atau di perkumpulan-perkumpulan pengamat bahasa dan sastra semacam FLP,
misalnya, perlu digalakkan kebiasaan menyatakan pendapat. Apa pun
pendapatnya, setiap orang harus bisa menyampaikannya dengan baik. Apa
pun fenomena yang diamati, pasti benak setiap orang memiliki pendapat
masing-masing. Mustahil ada manusia yang tidak memiliki pendapat. Yang
ada hanyalah manusia yang tidak mampu atau tidak berani menyatakan
pendapatnya itu.
Masalah komunikasi memang bisa berimplikasi
kemana-mana. Hanya karena salah bicara, sepasang suami-istri bisa
menemui perceraian. Karena maksud yang tidak tersampaikan, sudah tidak
terhitung banyaknya manusia yang menyesal. Dan karena ketidakmampuan
kita dalam merangkai kata, begitu banyak diskusi yang menemui
kebuntuan. Singkat kata, kegagalan dalam berbahasa bisa berakibat
fatal!
wassalaamu'alaikum wr. wb.